Andi Nurhani Sapada & Perkembangan Kesenian Sulawesi Selatan

Tulisan ini adalah catatan saya setelah membaca buku Pakkurru Sumange’ pada sub ‘’Dari Ritual Ke Panggung” yang ditulis oleh R.Anderson Sutton.  Saya menuliskan kembali tentang beberapa peristiwa yang saya temukan perihal perkembangan kesenian serta upaya-upaya Bu Nani dalam mengembangkan Seni Pertunjukan di Sulawesi selatan. Kalaupun ada kesalahan dalam tulisan ini. itu adalah kekurangan saya dalam memahami.
Salam Hormat..!!!
Dita Pahebong

Saat Claire Holt  berkunjung ke Sulawesi Selatan Tahun 1938 ia menyaksikan dan sempat  mendokumentasikan kesenian salah satunya Pakarena, Pagellu, Mabadong, Pajaga dan tarian bissu’ yang disajikan saat itu. Beberapa kesenian ritual disajikan tidak berdasarkan pakem atau keluar dari konteksnya. Hal ini disebakan karena mereka harus tunduk pada pembesar belanda, karena jika menolak akan memicu tindak kekerasan meskipun sejauh itu tidak ada peristiwa kekerasan yang ditemukan dalam mengembangkan kesenian untuk hiburan (Baca: Sutton).
Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai tahun1965 kondisi kesenian di Sulawesi Selatan mengalami kondisi yang buruk. Hal ini disebabkan dengan adanya penetangan dari kelompok Darul Islam dan Muhammadiah yang tidak menerima praktik  Masyarakat yang terkait dengan magis dan roh lokal. Sutton mengatakan “Seperti dunia erotis yang tersembunyi maupun terang-terangan menjadikan mereka untuk berhadapan dengan ajaran islam ortodoks”
Hasil wawancara Sutton dengan seniman tua yang mengatakan pasukan muslim ini membunuh Bissu, Menghancurkan gendang dan instrumen lainnya, memusnakan Baju Bodo karena dianggap terlalu merangsang, lantaran memperlihatkan lengan wanita.
Saat kepemimpinan Soekarno berbagai upaya masyarakat untuk memelihara tradisi lokal. Diam-diam melaksanakan acara ritual meskipun itu akan menuai reaksi berbahaya dari kelompok Darul Islam. Sutton Mengatakan kondisi Sulawesi Selatan dalam negara bangsa Indonesia adalah masalah yang patut diratapi.
Sekilas peristiwa di atas yang memberikan kita gambaran tentang persoalan yang terjadi pada masa itu. Kemudian memberikan  gambaran bahwa perkembangan seni di Sulawesi selatan sempat mengalami kendala dengan adanya kelompok Darul Islam yang melarang aktifitas masyarakat yang bersifat mistis. Selanjutnya mari kita kembali melihat upaya-upaya Ibu Nurhani Sapada dalam mengembangkan seni dengan orientasi pertunjukan di sulawesi selatan.
Tahun 1950 Bu Nani menikah dengan seorang polisi Letnan militer salah seorang pejuang revolusi yang dikenal menasional. Suaminya menentang Kahar Muzakkar besrta pasukan Darul Islam. ia mendukung upaya istrinya untuk mengembangkan sebuah musik ansambel. Sejak tahun 1960, Bu Nani mengabungkan instrumen suling dan kecapi serta intrument perkusi lainnya dalam mengiringi lagu-lagu lokal saat itu. selanjutnya Bu Nani bekerja bersama dengan musisi dan penanta musik A.S. Said mengembangkan ansambelnya dengan menambahkan suling dan kecapi menjadi 90 yang mereka sebut simponi kecapi (Baca: Pulu 1975). Ketika mengiringi lagu-lagu diatonik, Bu Nani dan Said  menggunakan kecapi dengan enam grip terdiri dari 7 nada yang hampir mendekati tangga nada mayor barat yang telah dibuat  sebelum ke Sidrap. Dulunya kecapi tertua hanya menggunakan empat grip (Baca: Kaudern 1927, Lathief 1994) dan nada kelima ditambahkan oleh Daeng Massikki setelah magang di tahun 1911 dengan Ince Dimang seorang pemain biola malaysia (Baca: Lathief 1994).
Pada peristiwa ini memberikan kita gambaran bahwa perkembangan musik di sulawesi Selatan. Bu Nani dan Rekannya tidak terlepas dari pengaruh barat  dalam memproduksi ensambel musik dengan gaya baru.(Baca: Sutton)
Selanjutnya mari kita melihat upaya Bu Nani dalam Mengembangkan Tari di Sulawesi Selatan. Menurut wawancara Sutton, Bu Nani pertama kali mempelajari tari Pattudu  yaitu tarian perempuan Mandar, ia belajar dengan Inche Maulana Daeng Tarring.
 Pada tahun  1947 Bu Nani mengubah tari Pattuddu sesuai versinya tanpa menghilangkan bentuk aslinya (Baca: Soepoantton, Hafied, dan Kuntoyo 1991 ). Pada tahun 1950 Presiden Soekarno mengunjungi Makassar dan memberitahu pemerintah setempat bahwa ia mencari tari tradisional daerah. Saat itu Bu Nani diminta menyiapkan Tari Tradisional dan Bu Nani  menampilkan tari Pattuddu versinya. Saat itu Bu Nani meminjam kostum pada mantan anggota kerajaan Mandar (Baca: Sutton).
Tari gubahan Bu Nani yang kedua yaitu tari Pakarena yang ia pelajari sejak tahun 1951. Hasil gubahannya pernah dipentaskan dalam acara peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke -54 agustus 1999. (Baca: Pakarena Anida ).
Bu Nani juga menciptakan tari “Pa’bengkkenna Ma’jina” atau Sabuk Dewi/ Tari sabuk yang dikenal sebagai tari Pelangi, yang ditampilkan pertama kali di tahun 1961. Tarian ini memperlihatkan tujuh penari memutar-mutar selendang sebagai simbol datangnya hujan dan berakhirnya musim kemarau. Bu Nani Mengatakan memutar-mutar sabuk itu terspirasi dari tarian yang ia lihat saat ke China 1954 (Baca: sapada 1975). Musik iringannya terdiri dari dua lagu bugis yakni lagu Kandope dan Ongkona Arumpone. (Baca: Sutton)
Pada tahun yang sama Bu Nani juga menciptakan tari Bosara’. Penari wanita membawa bosara’ yang menggunakan 3 lagu dalam iringannya yaitu Donda’dondang Lacirang, Indo Logo, dan Kapala Mojong. (Baca: Sutton)
Selanjutnya tari Pattennung yang di gubah oleh Bu Nani pada tahun 1962 yang terispirasi dari Tari Tenun dari Bali yang mengambarkan perempuan menenun sarun sutera yang pernah disaksikan di istana Bogor. Dalam tari Pattennung ini, Bu Nani lebih menekankan Estetika lokal mulai dari kostum hingga pola lantai.
  Selanjutnya pada 1963 Bu Nani menciptakan Tari Donda’Dondang yang terinspirasi dari tarian Pajoge’ dari Bone yang secara histroikal dikenal dari tari Jawa yakni Ronggeng, Taledhek’ sebuah tarian yang dibawakan dengan cara genit, penonton laki-laki ikut menari dan memberi uang kepada penari perempuan. Dalam taraian  Donda’dondang Bu Nani tetap mempertahankan sejumlah gerakan sensual, namun ditampilkan tanpa ciri-ciri erotis. Selain itu Bu Nani tidak memberikan kesempatan bagi  laki-laki untuk ikut menari di dalamnya. (Baca: Sutton).
Lanjut Sutton mengatakan bahwa musik tarian Donda’dongdang ini menggunakan lagu Dondadondang Lancirang sebuah lagu dari desa di kabupaten Sidrap dengan menggunakan satu atau dua Gendang yang berfungsi memberikan kerangka ritmik untuk mengiringi lagu dari melodi kecapi dan suling.
Selain tarian di atas Bu, Nani juga menciptakan tari yang cukup terkenal yaitu tari Marellau Pammase Dewata. Sekarang dikenal sebagai tari Pa’duppa. Tarian tersebut terinspirasi dari tarian barat  yang berjudul “The Balloon” yang disaksikan sebagai pertunjukan pembuka saat ia berkunjung ke Kairo Mesir tahun 1963. Dalam tarian ini Bu Nani merefresentasikan semacam sifat kesakralan dan kepercayaan tua masyarakat sulawesi selatan (Baca: Sapada 1975). Para penari membawa dupa dengan diiringi dua lagu yaitu Ana’ Ma’bura Mali dan Ongkona Sidengreng. Bu Nani sering menggunakan tarian tersebut sebagai tari pembuka pertunjukan sebagai permohonan berkah. Meskipun tari ini bukanlah sebagai penghubung antara masyarakat dengan leluhur.
  Terakhir dalam tulisan ini merupakan  peristiwa yang menarik yaitu saat Bu Nani menyaksikan pelecehan dari orang-orang  Bugis, dan Makassar terhadap orang-orang toraja.  Orang-orang toraja juga sempat dijadikan sebagai budak oleh masyarakat daratan rendah hingga abad ke-20 (Baca: Bigalke 1983, Sutherland 1983). Dengan menyaksikan peristiwa tersebut. Putri Bu Nani yaitu We Tenrisau Andi Sapada pada tahun 1968 mengambil rangkaian gerakan tarian ritual dan ritme gendang toraja  untuk membuat tarian Ma’latu Kopi artinya memetik Kopi, dengan iringan musik pembuka yang diambil dari bagian iringan Pagellu dengan menggunakan gendang toraja, selain itu menggunakan lagu Batingna Lebonna dan juga menggunakn lagu multi bahasa yaitu Cakko’kodo’. Meski banyak kalangan Bugis Makassar yang mempertanyakan tentang nilai tari tersebut karena dianggap berangkat pada kebiasaan masyarakat animisme dan nasrani pegunungan toraja. Namun di atas reputasi Bu Nani dan keluarganya yang begitu baik sehingga lebih mudah mengatasi keeanggan tersebut.  Putri Sulung Bu Nani bersedia menampilkan dan menjadikannya sebagai tarian yang bisa diterima di masyarakat. Menurut Sutton, hal ini tidak mungkin terjadi bila orang-orang daratan rendah diminta secara langsung menirukan tarian dari ritual Toraja.
Pada peristiwa di atas,  Merupakan gambaran tentang upaya-upaya Bu Nani untuk meleburkan batas-batas etnis dan memperkenalkan kesenian ke-lingkup yang lebih luas tanpa peduli etnis manapun. Saat Sutton wawancara dengan Halilintar pada 21 juli 1994, Halilintar mengatakan bahwa kontribusi Bu Nani adalah mengambil tarian-tarian yang bisa dipentaskan oleh masyarakat rendahan, dan menjadikannya lebih dihormati dengan memindahkannya dari konteks sosial tari tersebut (Baca: Sutton).
 Meski Bu Nani juga tergolong sebagai kalangan elit tetapi kesediannya dalam mengajar dan menampilkan tarian tersebut sangat mempermudah untuk orang-orang yang mau mengikutinya.

Komentar

Postingan Populer