Pantaskah Tari Pakarena Anida Menjadi Tari Tradisional Sulawesi-Selatan

Oleh : Dita Pahebong
Mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Munculnya karya-karya seni hiburan yang berangkat dari aspek-aspek tradisional tampaknya menjadi solusi utama untuk memperkenalkan budaya kelingkup yang lebih luas. Atas nama pengembangan dan pelestarian menjadi legitimasi utama para praktik seni di sulawesi selatan. Dari begitu banyak pengembangan kesenian-kesenian terdahulu sehingga saat ini sangat sulit dibedakan mana yang tradisional dan mana kreasi.
Merujuk pada arti Tradisional menurut kamus besar Bahasa Indonesia yaitu sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Pada pembahasan ini, Tari tradisional yang dimaksudkan sebagai tarian yang masih menggunakan pakem dan belum mengalami perubahan, baik dari segi penyajian ataupun bentuk gerakan dan musik pengiringnya. Seperti halnya tari pakarena yang sering dijumpai pada pedesaan yang belangsung dalam waktu yang cukup panjang berjam-jam tanpa henti.
Pakarena tradisional sangat jarang dijumpai akhir-akhir ini. Bahkan dari beberapa penari muda sama sekali tak pernah menyaksikan secara langsung tarian tersebut. Sejauh ini tari pakarena yang sering mucul dalam panggung pertunjukan, panggung festival di sulawesi selatan ataupun lingkup yang lebih luas yaitu tari Pakarena Anida (versi Andi Nurhani Sapada) selanjutnya Ibu Nani, Tari Pakarena Anida rintisan Ibu Nani merupakan perubahan dari tari pakarena tradisional.
Dalam Buku Pakkurru Sumange' terjemahan dari buku Calling Back The Spirit ( Music, Dance, and Cultural Politics In Lowland South Sulawesi) oleh R Anderson Sutton. Sangat terang menjelaskan bahwa perubahan pakarena tersebut dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan hiburan sekuler dan penonton yang beragam. Lanjut pembahasan Sutton bahwa Ibu Nani memilih menghilangkan vokal yang sangat aneh dan tidak cocok dengan penonton Non_Makassar kemudian menggantinya dengan sebuah lagu yang menggunakan skala nada diatonis yaitu "Bunganna Ilang Kebok". Selanjutnya Bu nani pun menghilangkan sejumlah pola ritme gendang, dan menghilangkan pula seluruh elemen spontan yang lazimnya ada di dalam pakarena versi Tradisional.
Selanjutnya Ibu Nani memilih pola ritme yang lembut ketimbang bagian yang hingar-bingar. Dengan begitu sehingga membuat bunyinya lebih "beradab" dan menjadikanya lebih mudah dimainkan. Selain itu juga memasukkan ritme gendang Mandar disatu bagaian. (Soepanton, Hafied, dan Kutoyo 1991,50). Kutip Sutton.
Seiring dengan perkembangannya tarian tersebut menjadi bahan ajaran baik di sekolah-sekolah maupun dalam komunitas-komunitas seni di sulawesi selatan. Tampaknya dengan lahirnya tari pakarena Anida ini menjadikan para pelajar lebih mudah untuk mempelajari tari pakarena.
Pakarena Anida tergolong sebagai tari hiburan yang cukup lama di sulawesi selatan. menurut Sutton, tarian tersebut sudah dipentaskan dalam acara peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-54 Agustus tahun 1999 di Mamajang Ujung Pandang. Dengan melihat usia tarian tersebut tampaknya tidak mengherankan jika dapat dikenali oleh hampir seluruh penari muda di Sulawesi Selatan.
Dalam perubahan radikal yang dilakukan oleh Ibu Nani juga melibatkan musisi lokal master gendang Makassar aliran Gowa dan Takalar yaitu Fachruddin Daeng Romo dengan Mappaselleng Daeng Maggau. Dalam kolaborasi tersebut mereka melihat keuntungan dalam hal meluaskan daya tarik kesenian Makassar. Meskipun keduanya tidak setuju terhadap semua perubahan yang dilakukan Ibu Nani. Sutton lanjut menjelaskan bahwa, Mereka juga menggerut tentang perubahaan radikal yang dilakukan Ibu Nani pada tarian tersebut. Meski ia terlibat di dalamnya sebagai pemain gendang.
Pada Tari Pakarena Anida tidak lagi menekankan kontras antara pemain musik dan penari. Sutton menjelaskan bahwa penari menjadi inti dari kendali emosional sangat jarang bergerak dengan bertubi-tubi, dan sering hanya berdiri saja. Sutton lanjut menjelaskan bahwa Dalam pakarena Anida tersebut memposisikan musisi lebih pasif dan penari yang lebih aktif membangun komunikasi, dan meski tidak terkesan genit, jelas sangat memikat. selain itu, Ibu Nani memodifikasi dan memilih sendiri kombinasi kostum yang tidak lagi berdasar pada penanda tingkatan sosial di masa lampau tapi lebih kepada kriteria estetika Murni.
Dengan melihat penjelasan Sutton, akhirnya memberikan pencerahan bahwa pakarena Anida yang paling sering kita temukan di panggung pertunjukan merupakan perubahan radikal dari Ibu nani dimana perubahan tersebut bukan lagi pada penyederhanaan gerak melainkan sampai pada musik, kostum, juga pada penyajiannya.
Melihat keberadaan tari pakarena Anida saat ini tampaknya sudah mendapatkan posisi yang layak konsumsi. Bukan hanya dipentaskan di panggung festival tapi juga sudah dipentaskan pada acara-acara peresmian begitu juga dengan acara perkawinan. Dengan demikian seharusnya pemahaman tentang tarian kreasi diharapkan mampu memberikan pengetahuan kepada generasi penerus tentang perubahan radikal yang dilakukan oleh Ibun Nani sehingga tidak menganggap bahwa tari pakarena Anida sebagai tari tradisional sulawesi selatan melainkan sebagai tari hiburan yang sengaja di buat untuk kebutuhan pertunjukan.
Dalam tulisan tersebut tidak mengarahkan pembaca pada pemahaman yang menolak tari pakarena Anida sebagai tari tradisi sulawesi selatan. Cuman saja memberikan stimulan tentang perubahan radikal yang menerpa tari pakarena versi lama kemudian mengkaitkan dengan keberadaan tari kreasi baru semoga dengan pembahasan ini dapat memberikan stimulan bagi para pembaca khususnya pelaku seni untuk tetap meningkatkan daya kritis terhadap perhelatan seni tari di era global ini.

Komentar

Postingan Populer