TARI 4 ETNIS: MEMBENDUNG KRISIS TOLERANSI MELALUI PANGGUNG

Adiatma Hudzaifah Syukur
Mahasiswa Program Studi Etnomusikologi ISI Surakarta

Tabuhan pakanjara dengan tempo cepat menggebuh dalam membuka pertunjukan. Seakan-akan membangun semangat delegasi perkumpulan mahasiswa Sulawesi Selatan yang berdomisili di Yogyakarta dalam mementaskan “tari 4 etnis”. Dua orang berbaju hitam dengan penutup kepala berbeda mendekatkan diri kepada penonton, kedua orang itu memegang badik sembari menyampaikan aru/sumpah setia masyarakat Makassar-Bugis secara lantang dan keras. Setelah itu, ke-tujuh penari mengenakan kostum yang berbeda serta beragam masuk disekitar wilayah panggung. Senyuman manis dan gerakan penari mengikuti setiap alunan lagu 4 etnis tersebut yang dimainkan gaya musik ekspresif.
Dalam rangka event Festival Budaya dan Seni(FBS) yang diadakan oleh Universitas Islam Negeri(UIN) Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Event tersebut cukup tua, karena sudah menginjak usia 17 tahun. Diadakan pada tanggal 21 April 2017, bersamaan dengan hari Kartini, bertempat di area parkir poliklinik UIN Sunan Kali Jaga.  Para mahasiswa Sulawesi Selatan dengan eksisnya menampilkan kesenian mereka. Pemusik dan penari tersebar diberbagai kampus. Ada yang berasal dari UGM, UNY, UIN, ISI, UMS. Mereka sangat kompak walaupun berbeda kampus, suku, dan bahasa. Dita selaku pelaku dengan tegas membicarakan tentang krisis toleransi yang sedang menggerogoti hubungan sosial masyarakat Indonesia. Di mana mulai munculnya orientasi etnosentrisme, terkhususnya religiosentrisme. Hanya dengan satu kasus, efek terhadap masyarakat sangat besar sehingga hal yang sangat disayangkan mulai terjadi, tutur Dita.
Untuk membendung  problematika yang terjadi, Dita dkk, lewat tarian ini mengajak kembali untuk mengingatkan, bahwa kita terlahir melalui perbedaan dan keberagaman. Dengan rambut yang selalu terikat ia mengucapkan “Mana sih yang asli dari keindonesiaan kita?”, ucapnya. Semuanya terkonstruksi dari aspek luar Indonesia. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, masih banyak kebudayaan Hindu-Buddha yang masih sering dilakukan, begitupula kebudayaan Cina. Bersamaan dengan itu, dalam hal kepercayaan, rata-rata penduduk Indonesia beragama Islam, dan selebihnya beragama kristen dll. Kalau dirabah kembali, semua itu berasal dari luar. Jadi tidak ada yang asli, semuanya terbentuk oleh keberagaman. Tutur mahasiswa ISI Yogyakarta tersebut.
Lagu anging mammiri sebagai penanda etnis Makassar  memulai dengan tempo yang sedikit lambat. Penari dengan menggunakan properti kipas mengikuti tempo tersebut sehingga menghadirkan kesan kerinduan akan hembusan angin sepoi di kota Makasar dan sekitarnya. Dilanjutkan lagu bulu’ alau’na tempe yang berasal dari etnis Bugis. Tepukan tangan kemembran ganrang untuk membentuk pola ritmis yang cukup sederhana mengawali lagu tersebut. Para penari mulai memainkan gerakan gemulai melalui tangan, kaki, dan kepalanya.
Setelah itu lagu tenggang-tenggang lopi suku Mandar dinyanyikan. Suku ini memang sudah menjadi wilayah Sulawesi Barat. Akan tetapi kalau dilihat secara sosial suku ini masih dianggap bagian dari rumpun Sulawesi Selatan. Penari kembali mengenakan kipas sebagai properti. Di lagu tersebut tempo sudah mulai naik untuk menuju ending pertunjukan. Begitupula gerakan penari mulai sedikit padat. Dan di akhir pertunjukan uni son perkusi khas Toraja terdengar dengan teriakan-teriakan pemusik. Menjadikan pertunjukan sangat ramai dan aktraktif. Penonton pun turut serta mengikuti teriakan tersebut. Lagu tomanglaa mengiringi gerakan penari yang saling bergenggaman sambil mengayunkan kedua kaki ke kiri, ke kanan, kebelakang, dan ke depan. Pola ritmis musik semakin padat, bersmaan dengan itu gerakan penari semakin tegas, dalam hal ini menandai akan memasuki ending pertunjukan. Pada saat ending penari membentuk posisi polai lantai khas yang sangat indah apabila diabadikan melalui kamera.
Toleransi sangat terlihat dalam pertunjukan. Perpindahan tema suku yang terkesan patah, begitupula peralihan musik ketika perubahan tempo dan beatnya. Tapi semua itu berusaha disatukan untuk menandai toleransi setiap suku yang berada di Sulawesi Selatan. Seorang wanita yang mengenakan jilbab mengatakan pertunjukan tersebut seakan-akan mengajak penonton untuk berjalan-jalan ke Sulawesi Selatan, ucap Dinda mahasiswi UIN Sunan Kali Jaga. Selain itu, sebagai orang yang jauh-jauh datang dari Makassar, Mery hadir melihat pertunjukan, ia sangat senang karena melihat kesenian daerahnya ditampilkan, ujarnya.
Tari 4 etnis ini sangat fenomenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Tidak diketahui siapa pemilik hak cipta tarian tersebut. Hampir setiap sanggar seni memiliki tarian tersebut dengan kreasi masing-masing. Bukan hanya sanggar, kampus-kampus di Sulawesi Selatan sudah banyak mengkreasikan tarian 4 etnis ini dengan judul dan gaya yang berbeda-beda, senggah salah satu penari. Tari 4 etnis sangat sering terlihat di acara pesta pernikahan atau acara pembukaan  tempat khusus. Salah satu penari lainnya yang masih mengenakan kostum dan perhiasan megah mengatakan, pertunjukan kali ini sangat berbeda. Selain ditampilkan di tempat yang jauh. Kami juga mengawali tari 4 etnis dengan aru/sumpah setia dalam dua bahasa, yaitu Makassar dan Bugis, ucapnya.
Tonton videonya di : https://youtu.be/tVssMTE8DPM

Komentar

Postingan Populer